KONGRES CACAT PROSEDUR : SAAT DEMOKRASI KAMPUS DISULAP MENJADI ALAT KEKUASAAN


  Sebagai Mahasiswa Hukum, tentunya merasa memiiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk menyuarakan keresahan kolektif terhadap pelaksanaan Kongres Senat Mahasiswa Insitut (SEMA-I) IAIN Madura. Yang semestinya menjadi panggung demokrasi mahasiswa justru berubah menjadi panggung kelam pelanggaran prosedural yang sistematis dan merusak integritas organisasi mahasiswa itu sendiri.

  Pertama-tama, permasalahan legalitas penyelenggara menjadi titik awal dari kekacauan yang terjadi. Penyelenggara kongres atas nama Fitri yang diduga bukan lagi mahasiswa aktif yang di buktikan dengan adanya tanda-tangan resmi kongres sema-I, ini sangat mencoreng nilai legalitas formal. Dalam kajian Hukum Tata Negara, legalitas adalah syarat mutlak sahnya tindakan publik. Jika seseorang yang tidak memiliki legitimasi bertindak atas nama Lembaga resmi, maka seluruh rangkaian proses yang menyertainya patut dianggap cacat hukum dan perlu dipertanyakan keabsahannya.

  Kedua, pelanggaran terhadap ketentuan waktu pemberitahuan menjadi bentuk pengingkaran terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Pedoman Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan Republik Mahasiswa. Pasal 3 mengamanatkan bahwa setiap kegiatan formal organisasi harus diumumkan minimal 10 hari sebelum pelaksanaan. Namun dalam praktiknya, undangan kongres disebarkan hanya 1 hari sebelumnya dengan cakupan yang sangat terbatas. Hal ini menciptakan eksklusivitas yang mengebiri hak partisipatif mahasiswa secara umum.

  Ketiga, ketidakjelasan status Rizki sebagai PLT Ketua SEMA-I mempertegas kekacauan administratif dalam penyelenggaraan kongres luar biasa ini. Apabila tidak ada dasar administratif yang kuat, maka posisinya sebagai pelaksana tugas tidak memiliki kekuatan legitimasi formal yang sah. 

  Lebih jauh, netralis pimpinan sidang dipertanyakan karena berasal dari luar struktur resmi SEMA-I dan tidak tersedia dokumen legal (SK) yang dapat diverifikasi. Hal ini menimbulkan potensi konflik kepentingan dan menodai prinsip keadilan dalam pelaksanaan sidang kongres.

  Kelima, hasil kongres yang bertentangan dengan regulasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis), khususnya dalam syarat pencalonan ketua organisasi mahasiswa, mengindikasikan pengabaian terhadap regulasi nasional yang berlaku. Mahasiswa sebagai pelaku demokrasi kampus seharusnya menjadi contoh kepatuhan terhadap hukum, bukan justru pelanggar regulasi.

  Sebagai Mahasiswa Hukum, melihat peristiwa ini bukan hanya sebatas pelanggaran teknis, tetapi juga cermin dari Pembusukan sistem demokrasi kampus yang dibiarkan berjalan tanpa koreksi. Kampus sebagai miniatur negara seharusnya menjunjung tinggi asas-asas hukum seperti legalitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini merupakan bentuk pembelajaran hukum yang keliru dan berbahaya.

  Kekacauan dalam Kongres SEMA-I ini merupakan alarm keras bagi seluruh civitas akademika. Sebagai Mahasiswa Hukum, percaya bahwa hukum bukan hanya teori yang kita pelajari di ruang kelas, tetapi harus menjadi pijakan nyata dalam setiap proses organisasi. Bila hukum dan prosedur diabaikan, maka demokrasi kampus hanya akan menjadi panggung sandiwara kepentingan. 

  ‘Kita belajar hukum bukan untuk menjadi pelanggar hukum yang canggih, tapi untuk menjadi penjaga keadilan yang berani.





Penulis : Fuji Nur’Izza 

Komentar