DI BALIK JAS PUTIH: KETIKA PENYEMBUH MENJADI PEMANGSA
Dokter di kenal sebagai sosok penyelamat. Mereka hadir dengan jas putih, simbol kemurnian dan kepercayaan. Namun, ketika simbol itu ternodai oleh perilaku predatoris, luka yang di tinggalkan jauh lebih dalam dari pada penyakit fisik karena ia merusak kepercayaan publik terhadap profesi mulia ini.
Dalam setiap pertemuan antara dokter dan pasien, terdapat kepercayaan yang tak tertulis. Pasien mempercayakan tubuh, kerahasiaan, dan martabatnya kepada tenaga medis dengan harapan memperoleh perlindungan dan kesembuhan. Namun, apa jadinya jika penyembuh menjadi pemangsa? Itulah kenyataan kelam yang terjadi sepanjang Maret hingga April 2025, ketika empat kasus kekerasan seksual oleh dokter di Jakarta, Bandung, Garut, dan Malang mengguncang nurani publik. Fakta ini mengejutkan sekaligus menyedihkan, karena pelaku adalah mereka yang seharusnya menjadi penjaga keselamatan, tangan yang seharusnya menyembuhkan justru melukai.
Kasus ini bukan hanya persoalan individu. Ia mencerminkan kegagalan sistemik mulai dari longgarnya pengawasan internal institusi medis, lemahnya perlindungan terhadap pasien, hingga budaya diam yang mengakar di masyarakat. Tak sedikit korban yang takut bersuara karena perbedaan status sosial, tekanan psikologis, atau bahkan ancaman hukum balik seperti pencemaran nama baik.
Secara hukum, pelaku kekerasan seksual bisa di jerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pasal-pasal dalam undang-undang ini menegaskan bahwa setiap tindakan pelecehan seksual, termasuk yang terjadi dalam konteks relasi kuasa seperti dokter terhadap pasien, adalah tindak pidana yang bisa di hukum penjara dan denda berat. Namun, hukum yang kuat tak berarti apa-apa jika penegakannya lemah dan lambat. Tidak cukup hanya mengandalkan hukum pidana, dalam lingkup profesi, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) menjadi kompas moral yang wajib di taati setiap dokter. Di dalamnya jelas di sebutkan bahwa dokter harus menjunjung tinggi hak pasien, menjaga privasi, dan tidak memanfaatkan hubungan profesional untuk keuntungan pribadi. Jika melanggar, dokter dapat di jatuhi sanksi etik berupa peringatan hingga pencabutan izin praktik oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
Kasus kekerasan seksual oleh dokter bukan sekedar pelanggaran hukum, tetapi penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan etika profesi. Jas putih yang seharusnya menjadi simbol pengabdian, kini ternodai oleh tindakan keji yang tersembunyi di balik ruang praktik. Sebagai masyarakat, kita perlu berhenti mengagung-agungkan profesi tertentu. Dokter bukan dewa. Mereka manusia, dan ketika manusia menyalahgunkan kekuasaan, mereka harus diadili seperti pelaku kriminal lainnya.
Karena jas putih seharusnya menjadi lambang harapan, bukan trauma. Dalam dunia yang sakit, kita tidak bisa mempercayakan kesembuhan pada mereka yang justru menambah luka.
Penulis : Sabri Hidayatur Rohman
Komentar
Posting Komentar