Singkat

Ah suara-suara itu gaduh mengusik tidurku, baru saja terlelap karena dimarahi Mbah Putri untuk cepat tidur. 
"Ka, tidur," katanya dengan nada tinggi, aku yang fokus dengan permainan game di handphone langsung buru-buru mematikannya. Aku malas sekali jika harus adu mulut dengan Mbah Putri. 

Entah sekarang jam berapa, aku yang masih setengah sadar mendengar suara-suara tangis, suara-suara orang-orang yang entah siapa, suara kaki yang melangkah terburu-buru. Entah di kali keberapa aku terlelap lalu terbangun lagi dan terlelap lagi dan terbangun lagi. 

"Mobilnya mana." 

Patah-patah di separuh kesadaranku yang mengantuk berat, suara gaduh orang-orang terdengar lagi. Aku terlelap. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pelan pipiku. Ah, siapa yang menganggu tidurku. 

"Ka, Kafa. Bangun, ayo."

Suara itu pelan sekali menyuruhku bangun.

Mataku terbuka perlahan, mulai meraba-raba penglihatan sekitar, Tante Febi yang biasa ku panggil dengan sebutan Lek Febi. Lek dalam bahasa daerah kotaku mempunyai arti tante. Lek Febi adalah saudara Mama yang tertua. 

"Bapak, Ka. Bapak mau dibawa ke rumah sakit." 

Aku dibantu Lek Febi menuruni dipan. Masih setengah mengantuk, pelan-pelan menuju teras depan, keluarga sudah di luar semua dengan sibuk mengurus barang bawaan yang akan dibawa ke rumah sakit kota. Mbah Putri sibuk ke sana kemari memegang selimut. Mama, entahlah aku tidak melihatnya. Aku hanya melihat Om Budi dengan muka mengantuknya memanaskan mobil untuk membawa bapak ke rumah sakit. 

Separuh kesadaranku, aku melihat bapak dipapah oleh Om Budi dan Om Munib menaiki mobil. Mama ikut mendampingi di belakangnya, Mbah Putri yang masih dengan selimut yang dia pegang di tangannya, juga ikut menaiki mobil. Sepersekian menit, rumah lengang seiring dengan hilangnya mobil di kelokan jalan yang membawa bapak ke rumah sakit.

Aku diam, mengucek mata. Ingin tertidur kembali. Ini bukan kali pertama, sudah kali kesekian bapak masuk rumah sakit. Entah, aku tidak menghitungnya, aku lebih sibuk mengurus game di handphone ku. 

Malam itu juga sama terburu-burunya, bapak roboh di ruang tengah dekat TV. Entah jam berapa, tapi aku rasa sudah lewat tengah malam, aku baru saja terlelap sebentar setelah memenangkan pertandingan game di handphone. Om Budi sigap menyalakan mobil membawa bapak ke rumah sakit. Keluarga kami sibuk setelahnya dengan pulang pergi ke rumah sakit menjenguk bapak yang dirawat inap. 

Di kali kesekian bapak masuk ke rumah sakit, aku yang baru pulang sekolah diajak Lek Febi untuk ke rumah sakit menjenguk bapak. Di rumah sakit itulah aku baru tahu dari perbincangan antara mama dan Mbah Putri jika bapak mempunyai banyak penyakit. Entah apa saja jenis penyakitnya aku tidak paham, yang aku tahu penyakit-penyakit itu telah menggerogoti tubuh bapak sampai dia sekurus sekarang. 

Aku disuruh mama masuk ke ruangan tempat bapak dirawat. Pelan-pelan sekali membuka pintu. Aku masuk sendiri. Duduk terdiam di samping bangsal bapak. Mata bapak terpejam. Aku bingung hendak melakukan apa, hanya sibuk melihat seisi ruangan. 

"Ka."

Panggilan pelan dari bapak membuat fokusku teralihkan dengan melihat hordeng ruangan yang berwarna toska. Ah bukannya tadi bapak tertidur, sejak kapan dia terbangun. 

"Sudah lama kamu di sini, Nak."

Suaranya pelan sekali nyaris tidak terdengar. Aku hanya mengangguk, bingung harus menjawab apa. Aku dan bapak memang tidak terlalu dekat, kami banyak berbicara seperlunya saja. Anak laki-laki yang asing dengan bapaknya. Ah kata siang berlebihan, aku hanya terlalu sibuk dengan game di handphone ku dan bapak sibuk dengan pekerjaannya.

"Kafa sudah kelas berapa sekarang?" Bapak bertanya. 

"4 SD." 

"Anak laki-laki bapak sudah mulai besar rupanya, sudah bisa jika nanti menjaga mama." 

"Bapak dan Kafa tidak pernah dekat. Kita hanya berbicara seperlunya saja. Bapak sepertinya abai sekali dengan semua aktivitas Kafa. Bapak bahkan hampir tidak pernah bertanya apa tugas sekolah Kafa hari ini. Bapak sibuk mengurus pekerjaan. Sibuk dengan hal-hal yang menurut bapak penting, padahal Kafa juga penting. Bapak bahkan tidak tahu makanan apa yang Kafa suka."

Bapak menjeda pembicaraannya, dia terbatuk. Aku sigap mengambil air di atas nakas, mengarahkan sedotan air ke mulut bapak membantunya minum. 

"Terimakasih, Nak."

Suaranya nyaris tidak terdengar.

"Ka, bapak sedih karena bapak jauh sekali dengan Kafa. Sampai sekarang bapak harus bolak-balik rumah sakit pun, bapak masih jarang berbicara dengan Kafa. Setelah bapak sembuh dan pulang dari rumah sakit nanti, kita pergi berlibur, Ka. Bapak akan bawa kamu dan mama berlibur, hanya kita bertiga."

Bapak terbatuk lagi, aku menawarinya minum tapi dia tidak mau.

"Bapak lelah Ka harus keluar masuk rumah sakit ini. Jika penyakit ini terus berlanjut, kemungkinan bapak akan masuk ke rumah di kota provinsi sana, tidak lagi di rumah sakit kota ini. Akan banyak biaya yang harus dikeluarkan Ka untuk ini. Uang-uang itu, perhiasan mama, seharusnya untuk kamu nanti Ka. Tabungan masa depan. Bukan untuk membayar biaya rumah sakit bapak." 

Bapak terbatuk lagi. Kali ini aku tidak menawarinya minum. 

"Ka, bapak ingin tidur. Besok ke sini lagi temui bapak, Nak." 

Bapak masih terus berbicara dengan suara lemahnya yang hampir tidak terdengar. Dia baru berhenti berbicara saat dokter masuk ke ruangan hendak memeriksa bapak dan menyuruhku menunggu di luar. Mata bapak dalam menatapku yang perlahan keluar dari ruang inapnya.

Setelahnya aku sekali dua kali mengunjungi bapak ke rumah sakit saat lek Febi mengajak. 

Dan malam ini bapak masuk ke rumah sakit lagi, dan benar perkataannya waktu itu dia akhirnya dibawa ke rumah sakit di kota provinsi. Rumah sakit kota ini sudah tidak sanggup lagi menangani penyakitnya. 

Aku tidak pergi menjenguk bapak sama sekali di rumah sakit. Jaraknya terlalu jauh. Desas-desus yang kudengar, keadaan bapak semakin memburuk. Nyawanya sudah diambang maut. Sejak saat itu di rumah mulai mengadakan pengajian untuk kesembuhan bapak. 

"Ka, ka, Kafa. Bangun, Nak." 

Ah, siapa yang membangunkan ku. Aku baru saja tertidur setelah memenangkan game di handphone. Dengan berat hati aku membuka mata. Langsung ku dapati Mbah Putri dengan matanya yang sudah menangis.

"Ayo nak bangun. Bapak telah meninggal, Ka." 

Tangis Mbah putri makin menjadi. Dia memelukku sambil sesenggukan. Entahlah, aku tidak bisa mengeluarkan air mata antara terkejut, mengantuk dan tidak mengerti dengan suasana sekarang. Yang aku ingat hanya perkataan bapak saat dia masuk ke rumah sakit ke 3 kalinya dan aku pergi menjenguknya. 

"Anak laki-laki bapak sudah mulai besar rupanya, sudah bisa jika nanti menjaga mama."

Besok harinya, ambulan datang ke rumah kami. Suasana berduka. Pagar rumah dibuka lebar-lebar, kursi-kursi di ruang tamu disingkirkan. Tubuh kaku bapak dikeluarkan dari ambulan. Mama ikut turun dari ambulan didampingi lek Febi. Tak kuasa menahan kesedihan mama tak sadarkan diri setelah jenazah bapak diletakkan di ruang tamu. Aku yang tidak bisa menangis sampai sekarang, namun perkataan bapak masih terngiang-ngiang di kepalaku.

"Anak laki-laki bapak sudah mulai besar rupanya, sudah bisa jika nanti menjaga mama." 

Jenazah bapak langsung cepat dimandikan tanpa menunggu siapapun, lalu dikafani. Mama yang baru sadarkan diri ikut ke kuburan untuk mengantar jenazah bapak ke peristirahatan terakhirnya. Nama bapak tertulis di papan putih yang ditancapkan di gundukan tanah yang menimbunnya. Doa-doa dipanjatkan. Setelahnya kami pulang dengan kondisi mama yang tidak sadarkan diri kembali. 

Aku menatap makam bapak yang masih basah tanahnya. Mengingat kembali perkataan bapak waktu di rumah sakit.

"Anak laki-laki bapak sudah mulai besar rupanya, sudah bisa jika nanti menjaga mama."


Diselesaikan di Pamekasan, 24 September 2024
(Telah Terbit di Majalah LPM Activita eds 54)


Penulis: Hikmatul Kamilah (Mahasiswa HTN Angkatan 2021)


___________________________


Ayo menulis bersama di Peta Karya Blog resmi Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (HMPS HTN).
Kami tunggu tulisan kalian mahasiswa ideologis Hukum Tata Negara 

*Simak informasi penting kami!!!

Komentar