CERPEN - "BEKAL TERAKHIR IBU"

(*) Pagi ini hujan lebat di desa kami, sudah dari subuh hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda berhenti. Membuat orang-orang senang meringkuk di balik selimutnya. 

"Bangun, Dit." Ibu berteriak dari balik pintu dapur. Aku sudah bangun tapi masih terdiam di atas dipan, malas sekali harus mandi dan pergi sekolah. 

"Capat bangun," ucap Ibu dengan serbet di tangannya. "Eh, sudah bangun ya," lanjutnya.

Setelahnya Ibu mengomel, bilang cepat bersiap-siap hari ini harus pergi sekolah. Meskipun hujan harus tetep sekolah. Begitulah yang aku dengar. Kebiasaan Ibu, saat berbicara, tidak menuntaskan pembicaraannya, dan orangnya sudah pergi. Ya intinya, berjalan sambil bicara. 

Aku langsung bergegas mandi melihat jam di dinding sudah menunjukkan jam setelah tujuh. Jam tujuh harus sudah sampai ke sekolah, karena pagar sekolah ditutup jam tujuh. Lewat dari jam tujuh tidak bisa masuk. 

Sepersekian menit, aku langsung sat set sat sat memasang seragam, menyisir rambut, mengambil tas lalu menghampiri Ibu yang masih di dapur sibuk dengan masakannya.

"Aku berangkat, Bu," ucapku seraya mengambil tangannya untuk bersalaman.
"Eh, kamu belum sarapan." Ibu masih akan mengambilkan nasi. Aku bilang tidak usah sudah hampir jam tujuh. Ibu memberikanku uang jajan tiga lembar sepuluh ribuan. Karena belum sarapan jadi uang sakunya ditambah. 

Aku bergegas. sesampainya disekolah, tepat jam 7 kurang 5 menit. Gerbang hampir di tutup. 

Kemudian kami sibuk belajar. Ibu Guru menerima kami untuk membuka buka paket matematika halaman 50. Setelahnya pasti akan berakhir dengan tugas. 

Menurut kalian apa yang menyenangkan saat di sekolah, tentu saat jam istirahat. Dan saat jajan. Akan tetapi, ada beberapa anak yang menghabiskan waktunya untuk pergi ke perpus. Berbeda denganku yang saat ini menduduki bangku kelas 6 SD, aku lebih suka makan. 

"Hari ini kamu bawa bekal apa, Adit," ucap Dinda saat jam istirahat. 

Aku bilang, aku tidak membawa bekal apapun karena bangun terlambat. Lebih tepatnya melambangkan diri karena melihat hujan. Masih mensyukuri nikmat Tuhan. 

"Lihat, Din. Aku bawa Nasi goreng hari ini." Dika, anak dari keluarga yang berkecukupan memperlihatkan bekalnya pada kami. 
Wangi nasi gorengnya tercium enak. 

"Lebih enak punyaku. Nih Mie goreng buatan Mama." Tidak mau kalah Ela memperlihatkan bekalnya juga. Terlihat enak sih. 

Kami anak-anak SD memang sudah biasa menunjukkan bekal makanan masing-masing. Sebagai bentuk keakraban. Awalnya memang saling membanggakan menu masing-masing, tapi akhirnya saling membagi. Indah kan berbagi. Tentu, ada pahala yang juga dijanjikan Tuhan jika orang rajin berbagi dan bersedekah. 

Aku biasanya juga membawa bekal. Karena terburu-buru, jadilah tidak sarapan dan tidak membawa bekal. 

Kami sedang duduk melingkar di taman depan kelas. Menikmati makanan dan candaan. Saling mengejek untuk menghibur diri masing-masing. 

"Dit, ada Ibu kamu tuh di gerbang." Tiba-tiba Nia teman kelasku memberi tahu. Aku bergegas menghampiri. Serius, begituan ekspresi yang aku tunjukkan pada Nia. Nia hanya mengangguk. 

Ibu Mengantarkanku bekal. 
"Nih Ibu sengaja ke sini membawakanmu bekal makanan," ucap Ibu sambil menyodorkan bungkusan plastik padaku. 

"Besok-besok jangan bangun telat lagi. Biasakan sarapan. Dan satu lagi, tetap membawa bekal ke sekolah, jadi uang jajan yang ibu kasih bisa kamu tabung, Dit," ucap Ibu. Kami masih duduk berdua di kursi tunggu depan gerbang. 

Ibu juga memberikan beberapa petuah. Kalau aku harus mandiri, jangan apa-apa harus Ibu. Harus mengingat setiap barang yang aku letakkan, karena aku sering lupa pada barang-barang yang aku letakkan. Biasanya, Ibu yang memberi tahu tempatnya. Apa jadinya jika aku tanpa Ibu. 

Selang 5 menit kemudian, Ibu pamit pulang. Aku menyalaminya. 

Aku harus berada di sekolah sampai nanti siang. Setalah siang kami akan berhamburan pulang menerobos pagar sekolah. Berlari-lari di tepi jalan. 

Ada yang aneh saat aku tiba di rumah siang hari nya. Banyak tetangga-tetangga berkumpul di rumahku. Entah ada apa. Muka bersedih, muka-muka sibuk, muka-muka kebingungan. Ada istri dari kepala desa menghampiriku, merangkulku. 
"Yang sabar ya, Nak," Istri kepala desa itu berbisik lirih padaku. Ada apa? Itulah yang aku tanyakan lewat ekspresi wajah. 

Selang sepuluh menit, saat aku sudah didudukkan di ruang tamu dan diberi makan oleh tetangga yang berkumpul di rumah. Terdengar dari kejauhan suara Ambulan. Masih sayup-sayup, tapi lama-kelamaan semakin nyaring. Ambulan itu berbelok ke pekarangan rumahku. 

"Siapa?" Aku masih sibuk bertanya lewat raut wajah. Istri kepala desa merangkulku makin erat. 
Aku melihat Bapak keluar dari dalam Ambulan. Dan ... sudah tidak bisa kuceritakan lagi. Wajah sayu bapak, wajah sembab habis menangis, wajah lelah. Ibu. Itu yang aku pikirkan. 

Itu Ibu. Jenazahnya kini sudah dibawa masuk ke ruang tamu. Kursi-kursi disingkirkan. Suara bacaan Yasin menghiasi sudut ruangan. Yang aku dengar dari perbincangan tetangga, Ibu meninggal tertabrak Truk saat pulang mengantarkan bekal untukku. Rem Truk yang blong, tidak bisa dikendalikan. Truk itu berbalok ke kanan jalan. Ibu yang masih di pinggir jalan sisi kanan, tidak bisa menghindar langsung tertabrak. Korbannya, ada tiga. Ibu, dan dia orang di dekat Ibu. Naas hari ini sudah terjadi. 


"Bekal terakhir Ibu," ucapku lirih sambil melihat plastik di atas nakas yang berisi kotak makan dari Ibu tadi. 


Diselesaikan di Sumenep, 03 Januari 2023

________________________

(*)Bionarasi:

Hikmatul Kamilah Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Angkatan 2021


_________________________

Ingin dimuat karyanya oleh kami di Peta Karya (Media Karya Mahasiswa HTN)? Teman-teman mahasiswa Hukum Tata Negara bisa mengirimkan tulisan pada kartu nama yang terlampir. 

See you next story ....


Komentar